“Memang lama sekali prosesnya, tapi kami puas, karena bisa menjaga kualitas.”
Ketika dipasarkan, di luar dugaan koleksi pertama Nilou langsung sukses menembus pasar sepatu di Perancis. Pesanan pun membanjir. Hingga 4.000 pasang. Pada tahun 2004, Ni Luh mendapatkan kontrak outsource dari jaringan ritel Topshop yang berpusat di Inggris. Pintu perdagangan ke Eropa kian terbuka lebar.
Di tahun yang sama, Nilou mendapat tawaran dari seorang warga Negara Australia yang berminat menjadi distributor di Negeri Kanguru.
Nilou semakin tenar. Sepatu ‘Made in Bali’ ini dipajang di ratusan etalase di 20 negara di dunia. Jika pada awalnya Niluh hanya mampu memproduksi 3 pasang sepatu dalam sebulan, setelah merambah ke pasar dunia, Nilou memiliki kapasitas produksi hingga 200 pasang sepatu per bulan. Berawal dari dua karyawan tukang sepatu, sekarang Nilou dibantu oleh 22 karyawan dan 3 asisten kepercayaan. Jika toko pertamanya berukuran sempit, bernuansa kusam, dan berdinding anyaman bambu, maka Nilou telah berkembang pesat, dengan 36 butik di 20 negara.
Pada tahun 2007, di tengah kesuksesannya, Niluh mendapat tawaran dari agen di Australia dan Perancis untuk melebarkan sayap. Mereka meminta peluang kerja sama untuk memproduksi Nilou secara massal di Cina dengan iming-iming sejumlah besar saham.
Dengan tegas, Niluh menolak tawaran itu. Dia tak ingin cintanya yang melekat setiap pasang sepatu yang dihasilkan dari workshop-nya tergantikan oleh mesin yang membuat ribuan sepatu yang sama persis, satu dengan lainnya. “Saya tak mau apa yang dibina dari nol dan dibentuk dari kecintaan saya serta tukang-tukang pengrajin, dibawa ke luar negeri. Berkah dari kecintaan saya ini adalah titipan Tuhan yang harus saya kembalikan kepada para pengrajin dan negara saya,” kilas Niluh.
Namun, yang terjadi setelah itu bagaikan pil pahit. Label Nilou yang sudah mendunia ternyata didaftarkan pihak lain. Hubungan usaha Niluh dengan rekan-rekan di dunia internasional pecah.
“Mereka tetap jalan dengan mass production bermerek Nilou, berbasis di Cina,” ujar Niluh. Hal terberat harus dilakukan oleh Niluh, yakni membunuh Nilou, merek yang lahir dan tumbuh dari cintanya.
Niluh kembali ke belakang layar dengan berkonsentrasi memproduksi sepatu untuk desainer asing. “Berat? Sudah pasti. Namun saya yakin bahwa yang saya bunuh adalah sekedar merek,bukan cinta saya. Mesin jahit tetap jalan, para pengrajin tetap bisa berkarya bersama saya, itu hal terpenting buat saya. Hal lain bisa diperjuangkan”.
Cinta dan semangat juang Niluh membawanya cepat bangkit. Pada awal tahun 2008, ia memulai lagi usahanya dengan memproduksi sepatu bermerek “Niluh Djelantik”, yang langsung dipatenkan untuk menghindari masalah yang lama terulang. Sekarang, merek Niluh Djelantik sudah berkibar kencang di dunia, bahkan di kalangan para selebriti.