Bacalah cerita berikut
Asal Mula Bukit Catu
Di pedalaman Pulau Bali, terdapat sebuah desa yang subur. Di sana, tinggal sepasang suami istri. Mereka bekerja sebagai petani. Menjelang musim panen, Si suami berkata kepada istrinya.
“Jika nanti hasil panen kita melimpah, buatlah tumpeng nasi yang besar. Kemudian, undanglah tetangga untuk makan bersama.”
Istrinya pun setuju. Kedua suami istri itupun berharap panen mereka melimpah.
Tak lama kemudian, harapan mereka terkabul. Si Istri menyiapkan tumpeng nasi dan mengundang seluruh penduduk desa untuk makan bersama.
Menjelang musim panen berikutnya, Si suami berkata lagi kepada istrinya
“Semoga panen kita lebih banyak lagi, kalau bisa tiga kali lipat dari sebelumnya. Jika harapanku terkabul, buatkanlah tiga tumpeng nasi yang lebih besar dari sebelumnya.”
Kemudian, Si Istri membuat tiga tumpeng dan mengundang seluruh penduduk desa untuk berpesta kembali.
Beberapa hari kemudian, Si suami pergi ke sawah. Dalam perjalanan, ia melihat seonggok tanah yang berbentuk seperti catu. Catu adalah alat penakar nasi yang terbuat dari tempurung kelapa.
“Hmmm, aneh sekali. Sepertinya kemarin gundukan tanah ini tidak ada,” gumam Si suami.
Setelah pulang dari ladang, ia bercerita kepada istrinya. Kemudian, ia mengajukan usul kepada istrinya.
“Istriku, bagaimana kalau kita membuat beberapa catu nasi? Siapa tahu, kalau kita membuatnya, hasil panen kita akan semakin melimpah.”
Sejak saat itu, Si istri rajin membuat catu nasi. Setiap catu nasi yang dibuatnya, ia niatkan untuk menambah hasil panennya.
Namun, ada keanehan yang terjadi. Saat pergi ke sawah, onggokan tanah yang ia temukan sebelumnya semakin membesar. Rupanya, setiap Si istri membuat catu nasi, saat itu pula onggokan tanah membesar.
Sepasang suami istri itu pun tak menyadarinya. Bahkan, Si istri membuat catu nasi yang lebih besar setiap harinya. Lama-kelamaan, onggokan tanah itu berubah menjadi sebuah bukit. Setelah Si petani dan istrinya berhenti membuat catu nasi, onggokan tanah itu pun juga berhenti membesar. Sejak saat itu, onggokan tanah itu disebut dengan Bukit Catu.
Disadur dari: Dian. K, 100 Cerita Rakyat Nusantara, Jakarta, Bhuana Ilmu Populer, 2016.
Dalam cerita tersebut terdapat tiga tokoh. Tokoh merupakan pelaku dalam cerita. Tokoh merupakan salah satu unsur pembangun cerita. Tokoh mengemban peristiwa dalam cerita sehingga peristiwa tersebut mampu terjalin sebagai cerita. Selain itu, tokoh berfungsi sebagai pembawa pesan, amanat, moral atau sesuatu yang ingin disampaikan pengarang.