Amatilah gambar berikut!
Apakah gambar di atas menunjukkan keragaman karakteristik? Apa yang sedang dilakukan anak-anak pada gambar di atas? Tuliskan pendapatmu pada tempat di bawah.
Jawaban:
Terdapat keberagaman karakteristik pada gambar anak-anak tersebut, yaitu keberagaman fisik. Ada anak berkulit gelap. Ada juga anak berkulit putih. Meskipun berbeda warna kulit, mereka tetap bekerja sama dalam melakukan tugas kelompok.
Kamu di sekolah mempunyai banyak teman dengan keragamannya. Ada teman dengan ciri fisik berbeda-beda. Ada teman berbeda agama. Ada juga teman dengan asal daerah tempat tempat tinggal berbeda. Bagaimana kamu menyikapi keragaman karakteristik di sekolahmu? Tuliskan dalam kolom berikut.
Jawaban:
Cara menyikapi keberagaman karakteristik di sekolah yaitu dengan menghormati dan menghargai teman yang berbeda fisik, agama, dan asal daerah. Kita harus tetap menjalin persahabatan dengan semua teman tanpa membeda-bedakan, baik fisik, agama, maupun asal daerah.
Daerah tempat tinggal penduduk Yogyakarta beragam. Ada daerah dataran tinggi, dataran rendah, pesisir, kota, dan desa. Di Yogyakarta juga banyak dijumpai sungai, di antaranya Sungai Opak, Sungai Code, Sungai Kuning, Sungai Progo, dan Sungai Gajah Wong.
Salah satu sungai di Yogyakarta yang m em iliki cerita legenda adalah Sungai Gajah Wong. Penduduk Yogyakarta sering menyebut sungai dengan kali. Kali Gajah Wong adalah sebuah kali yang terletak di tengah-tengah kota Kecamatan Kotagede. Panjang kali ini tidak lebih dari 20 kilometer.
Pada abad ke-17, kali ini merupakan kali yang kecil. Masyarakat di daerah tersebut menyebutnya dengan kalen, yang artinya kali kecil. Dan kebetulan airnyapun hanya gemercik mengalir sedikit sekali.
Berikut cerita mengenai Kali Gajah Wong.
Kali Gajah Wong
Hari itu, Ki Sapa Wira bersiul riang. Seperti biasa, ia akan memandikan gajah milik junjungannya, Sultan Agung, raja Kerajaan Mataram. Dengan hati-hati, Ki Sapa Wira menuntun gajah yang dinamai Kyai Dwipangga itu.
Mereka berjalan ke sungai yang terletak di dekat Keraton Mataram. Mulailah ia memandikan gajah yang berasal dari negeri Siam itu.
“Nah, sekarang kau sudah bersih. Rambutmu sudah mengilap, sekarang ayo kembali ke kandangmu,” kata Ki Sapa Wira kepada Kyai Dwipangga.
Ki Sapa Wira memang memperlakukan Kyai Dwipangga seperti anaknya sendiri. Tak heran, Kyai Dwipangga amat patuh padanya.
Suatu hari, Ki Sapa Wira tak bisa memandikan Kyai Dwipangga. Ada bisul besar di ketiaknya, rasanya ngilu sekali. Badannya juga demam karena bisul itu. Ia meminta tolong pada adik iparnya, Ki Kerti Pejok, untuk menggantikan memandikan Kyai Dwipangga.